Merumuskan Brand Positioning, Kembali ke Akar
Dalam satu waktu, saya dan partner sesama konsultan mendapat kesempatan untuk menjadi mitra strategis bagi sebuah perusahaan yang ingin melakukan brand refreshment sekaligus memposisikan diri lebih kuat di pasar. Kesempatan seperti ini tentu tidak kami sia-siakan. Selain karena bidangnya sangat “kami banget,” juga karena proses ini menyentuh esensi dari apa yang kami yakini tentang branding itu sendiri: menemukan kembali makna terdalam dari sebuah entitas.
Beberapa hari terakhir, saya menyelami lebih dalam sejarah perusahaan ini. Saya membaca kembali bagaimana mereka berdiri, apa yang melatarbelakangi perjalanan panjangnya, nilai apa yang terus dipegang, serta apa yang sebenarnya ingin mereka capai dan tawarkan ke market. Dari proses itu, saya menemukan satu hal yang menarik, sebuah keyword yang konsisten muncul di setiap cerita, namun belum pernah benar-benar mereka sadari dan angkat di setiap komunikasi.
Banyak kompetitor yang menawarkan layanan serupa. Namun, tidak ada satu pun yang memiliki kata kunci ini. Jika pun ada, eksekusinya terasa belum kuat, belum menjadi DNA. Satu kata kunci ini seperti akar yang membedakan mereka dari ratusan pemain di industri yang sama.
Ketika saya mendiskusikannya dengan partner saya, tanpa janjian, kami berdua sampai pada kesimpulan yang sama persis. Namun, kami juga percaya bahwa intuisi tanpa verifikasi bukanlah strategi. Maka kami lanjutkan dengan serangkaian in depth interview, dari jajaran pimpinan hingga pelaksana lapangan. Hasilnya konsisten: keyword itu kembali muncul dari mulut mereka sendiri.
Dari situ saya belajar, bahwa positioning bukan hanya tentang bagaimana kita ingin terlihat di mata publik, bukan semata soal tampil keren atau beda dari kompetitor. Positioning adalah tentang mengenali siapa diri kita sebenarnya. Tentang kembali ke akar sejarah, memahami prinsip yang tidak pernah berubah, dan menjadikannya fondasi dalam setiap keputusan dan komunikasi.
Perusahaan ini sudah berdiri lebih dari 50 tahun, bertahan melewati perubahan zaman dan tren industri. Dan ternyata, kekuatannya ada pada satu kata kunci itu, sesuatu yang mungkin sederhana, tapi justru menjadi napas dari semua program dan produknya.
Akhirnya saya dan partner menyadari: sebelum bicara soal diferensiasi, lihat dulu ke dalam. Kenali apa yang benar-benar kita punya. Baru dari situ, pikirkan bagaimana apa yang kita punya bisa menjadi solusi yang berarti bagi klien atau pelanggan. Karena sejatinya, brand strategy yang kuat tidak dimulai dari apa yang ingin kita jual, tetapi dari apa yang paling jujur dari diri kita sendiri.
Dari proses itu, saya juga semakin yakin bahwa membangun brand itu sejatinya mirip dengan mengenali diri sendiri. Banyak orang atau perusahaan ingin terlihat besar, modern, relevan, padahal yang paling penting adalah menjadi autentik.
Karena tanpa kejujuran terhadap siapa kita sebenarnya, semua diferensiasi hanya akan jadi tempelan. Gaya visual bisa berubah, campaign bisa berganti, tapi identitas yang tidak berakar akan mudah goyah.
Dan kadang, proses menemukan kata kunci itu bukan hanya soal marketing exercise, tapi juga perjalanan memahami nilai dan tujuan. Sama seperti manusia, perusahaan pun bisa lupa siapa dirinya ketika terlalu sibuk mengejar ekspektasi pasar.
Itulah kenapa saya percaya, branding yang paling kuat lahir dari kesadaran, bukan ambisi.
Kesadaran akan nilai yang paling otentik, yang membuat kita tetap relevan sekaligus bermakna.
